jawaban
Pada tahun 1808, William Herman Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang berkuasa saat itu mendirikan bengkel untuk pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan alat-alat senjata Belanda bernama Contructie Winkel (CW) di Surabaya dan inilah awal mulanya PT. Pindad (Persero) sebagai satu-satunya industri pertahanan di Indonesia. Selain bengkel senjata, Daendels kala itu juga mendirikan bengkel munisi berkaliber bernama Proyektiel Fabriek (PF) dan laboratorium Kimia di Semarang. Kemudian, pemerintah kolonial Belanda mendirikan bengkel pembuatan dan perbaikan munisi dan bahan peledak untuk angkatan laut mereka yang bernama Pyrotechnische Werkplaats (PW) pada tahun 1850 di Surabaya.
Pada tanggal 1 Januari 1851, CW diubah namanya menjadi Artilerie Constructie Winkel (ACW). Kemudian pada tahun 1961, dua bengkel yang berada di Surabaya, ACW dan PW disatukan di bawah bendera ACW. Kebijakan penggabungan ini, menjadikan ACW memiliki tiga instalasi produksi yaitu; unit produksi senjata dan alat-alat produksinya ( Wapen Kamer), munisi dan barang-barang lain yang berhubungan dengan bahan peledak ( Pyrotechnische Werkplaats), serta laboratorium penelitian bahan-bahan-barang hasil.
Perang Dunia I pada pertengahan 1914, melibatkan banyak Negara Eropa, termasuk Belanda. Demi kepentingan strategi, pemerintah kolonial Belanda pun mulai mempertimbangkan relokasi sejumlah instalasi penting yang dinilai lebih aman. Bandung dinilai tepat sebagai tempat relokasi yang baik karena kontur daerahnya berupa perbukitan dan pegunungan yang dapat dijadikan bentang pertahanan alami terhadap serangan musuh, posisi Bandung juga sangat strategis karena sudah memiliki sarana transportasi darat yang memadai, dilalui oleh Jalan Raya Pos ( De Grote Postweg) dan melewati jalur kereta api Staats Spoorwegen kota Bandung juga berada tidak jauh dari pusat pemerintahan Hindia Belanda, Batavia.
ACW dipindahkan pertama kali ke Bandung, pada rentang waktu 1918-1920. Pada tahun 1932, PW dipindahkan ke Bandung, bergabung bersama ACW dan instalasi lain yaitu Proyektiel Fabriek (PF) dan laboratorium Kimia dari Semarang, serta Institut Pendidikan Pemeliharaan dan Perbaikan Senjata dari Jatinegara yang direlokasi ke Bandung dengan nama baru, Geweemarkerschool. Keempat instalasi tersebut dilebur di bawah benderta Artilerie Inrichtingen (AI).
Di era pendudukan Jepang, AI tidak mengalami perubahan, penambahan instalasi, maupun proses produksinya. Perubahan hanya berada pada segi perubahan administrasi dan organisasi sesuai dengan sistem kekuasaan militer Jepang. Perubahan pun terjadi dalam segi nama menjadi Daichi Ichi Kozo untuk ACW, Dai Ni Kozo untuk Geweemarkerschool , Dai San Kozo untuk PF, Dai Shi Kozo untuk PW, serta Dai Go Kazo untuk Monrage Artilerie, instalasi ACW.
Pada saat Jepang menyerah kepada Sekutu dan terjadi di kekuasaan di Indonesia, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai upaya terjadi untuk merebut instalasi-instalasi pertahanan di kota Bandung. Pada akhirnya, tanggal 9 Oktober 1945, Laskar Pemuda Pejuang berhasil merebut ACW dari tangan Jepang dan menamakannya Pabrik Senjata Kiaracondong.
Pendudukan pemuda tidak berlangsung lama, karena sekutu kembali ke Indonesia dan mengambil alih kekuasaan. Pabrik Senjata Kiaracondong dibagi menjadi dua pabrik. Pabrik pertama yang terdiri dari ACW, PF, dan PW digabungkan menjadi Leger Produktie Bedrijven (LPB), serta satu pabrik lain yang bernama Central Reparatie Werkplaats, yang sebelumnya bernama Geweemarkerschool.