Jawaban:
Wasathiyah berasal dari akar kata “wasatha”. Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:
وَسَطُ الشَّيْءِ مَا بَيْنَ طَرْفَيْهِ
Artinya: “sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.
Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau مَرْكَزُ الدَّائِرَةِ, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara dua ujung.
“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang pertengahan”, artinya “dan “demikianlah Kami memberi hidayah kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam. Kami memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan Kami memilihkannya untuk kalian.
Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil, pilihan umat-umat, pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith dalam urusan agama dan dunia. Tidak melampaui batas (ghuluw) dalam melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.”
Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni dalam memberikan makna seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan.
Di antara redaksi riwayat yang dimaksud, yaitu:
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَال: عُدُوْلًا .
Artinya: “Dari Abi Sa’id dari Nabi bersabda; “Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat yang wasathan”. Beliau berkata: (maknanya itu) adil.”
Berdasarkan pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih menggunakan kata al-wasath dari pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya ada dua sebab, yaitu:
Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik.
Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.
Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih, adil dan seimbang.
Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan” yaitu pertengahan sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah). Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah).
Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan (taghayyur). Oleh karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya (universum), sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.
semoga membantu